Sabtu, 07 November 2015

TRADISIS LOMBAN DALAM MENJAGA KEARIFAN LOKAL BUDAYA JEPARA

MAKALAH SOSIOLOGI PEDESAAN
MENGENAL KEARIFAN LOKAL BUDAYA JEPARA


OLEH
Nama : Rina Ainun Nadlifah
Nim     : 125080201111005
Kelas   : P3

Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
2014


BAB 1
PENDAHULUAN
1.      Pengertian Kearifan Lokal
kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
I Ketut Gobyah thiam “Berpijak pada Kearifan Lokal”  mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kerifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun nilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Nama Jepara berasal dari kata ‘ujung’ dan ‘para’. Kata Para adalah kependekan dari ‘pepara’ yang berarti bebakulan mrana-mrana, yaitu berdagang kesana-kemari. Sementara itu Lekkerkerker menyebut Jepara dengan haventjes der klein handelaars artinya pelabuhan para pedagang kecil. Panitia Penyusunan Hari Jadi Jepara mengatakan bahwa pada umumnya kota-kota yang terletak di tepi pantai biasanya menggunakan kata ‘ujung’ seperti ‘Ujung Sawat’, ‘Ujung Gat’, ‘Ujung Kalirang’, ‘Ujung Jati’, ‘Ujung Lumajang’, dan ‘Ujung Blidang’ sehingga kata Jepara berasal dari kata ujung para, ujungmara atau jumpara. 
Jepara yang terletak di Pesisir pantai utara pulau Jawa mayoritas masyarakatnya berpencaharian sebagai nelayan selain sebagai pengrajin seni ukir (mebel). Sebagai masyarakat yang berada di pesisir pantai mereka memiliki kearifan khusus dalam kaitannya dengan kehidupan di lingkungan sekitarnya.


2.      TUJUAN
a)      Mengetahui Kerajinan Lokal Jepara
b)      Mengetahui Kepercayaan Masyarakat Jepara
c)    Mengetahui Tradisi Upacara Lomban
































BAB II
PEMBAHASAN
1.            Kepercayaan Masyarakat

Mengenai hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya ada kebudayaan-kebudayan yang memandang alam itu sebagai suatu hal yang sangat dahsyat sehingga manusia itu pada hakekatnya hanya bisa menyerah saja tanpa ada banyak yang bisa diusahakannya. Sebaliknya ada pula kebudayaan yang memandang alam itu sebagai suatu hal yang bisa dilawan oleh manusia dan mewajibkan manusia untuk selalu berusaha menaklukkan alam, disamping itu ada pula kebudayaan yang menganggap bahwa manusia itu hanya bisa berusaha mencari keselarasan dengan alam . Sehingga manusia bebas berinteraksi dan mengolah alam.
           Masyarakat nelayan di Jepara percaya bahwa kehidupan di muka bumi ini diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan mereka juga percaya bahwa hidup itu ada yang menghidupkan dan ada yang menghidupi. Kepercayaan tersebut menjadi dasar kendali dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang diungkapkan dalam bentuk kepercayaan tentang sesuatu, adat, nilai, dan upacara-upacara serta perayaan tertentu. 
Selain percaya pada Tuhan Yang Maha Esa masyarakat nelayan juga percaya kalau disekitar tempat tinggal mereka terdapat makhluk halus atau makhluk penunggu atau ‘sing mbaurekso’ yang sewaktu-waktu dapat mengganggu kehidupan manusia misalnya mengganggu ketentraman, mendatangkan bencana, namun sebaliknya bisa juga memberikan ketenangan, perlindungan dan keselamatan dalam kehidupan manusia. Mereka percaya akan adanya kekuatan-kekuatan alam yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Mereka mengenal tanda-tanda alam baik yang berupa tanda-tanda kebaikan maupun tanda-tanda keburukan. Tanda-tanda alam yang dikenal dalam kehidupan nelayan antara lain:
a)      Jika di langit ada tanda kehitam-hitaman (mendung tebal) yang datang dari arah barat serta ada guruh yang menggelegar atau kilat yang menyambar maka itu sebagai pertanda akan datang gelombang yang besar atau badai yang dahsyat. Sehingga tidak seorang nelayan pun yang berani melaut, bahkan yang sudah terlanjur di tengah laut supaya cepat-cepat menepi. Keadaan seperti ini menyadarkan manusia khususnya para nelayan bahwa pada saat-saat tertentu alam memiliki kekuatan yang tidak bisa dilawan oleh manusia.
b)      Apabila akan melaut, jika tidurnya mengalami mimpi buruk maka harus terlebih dahulu diadakan selamatan, karena kalau tidak konon mimpi buruk tersebut akan menjadi kenyataan.
c)       Apabila akan melaut tidak boleh dalam keadaan marah., baik kepada keluarga maupun orang lain. Konon jika melaut dalam keadaan marah mereka akan jauh dari rezeki sehingga tidak dapat ikan tangkapan.
d)      Apabila sedang berada di tengah laut nelayan tidak boleh mengatakan kata-kata kotor. Konon jika hal itu dilakukan nelayan itu akan mengalami kesulitan dalam mencari rezeki dan bisa mendatangkan musibah.
e)       Apabila dalam melaut seorang nelayan menangkap ikan Pendong yaitu ikan yang dilarang untuk ditangkap, maka ikan tersebut harus segera dilepaskan kembali ke laut dan sepulangnya dari laut harus segera menyelenggarakan selamatan khusus agar terhindar dari malapetaka sebagai akibat tertangkapnya ikan larangan tersebut.
Dengan adanya kepercayaan-kepercayaan para nelayan tersebut maka maka para nelayan di Jepara mengadakan upacara-upacara ritual baik yang bersifat massal maupun pribadi. Dalam upacara-upacara ritual ini diadakan sesaji dan doa magis yang ditujukan pada makhluk yang mendiami alam sana (laut) , sebagai upaya agar hidup mereka diliputi suasana tenang selamat dan dijauhkan dari mara bahaya. Kegiatan upacara ritual yang berhubungan dengan masyarakat nelayan di Jepara antara lain sedekah laut, ceblok branjang, selamatan untuk perahu baru atau penurunan perahu pertama kali ke laut dan upacara kupatan.

2.      Pesta Lomban
Pesta lomban oleh masyarakat Jepara sering pula disebut sebagai “ Bakda / Bada Lomban “ atau Bakda / Bada Kupat . Disebut “ Bakda Kupat “ karena pada saat itu masyarakat Jepara merayakannya dengan memasak kupat (ketupat) dan lepet disertai rangkaian masakan lain seperti : opor ayam, rendang daging, sambal goreng, oseng-oseng dan lain-lain. Istilah Lomban oleh sebagian masyarakat Jepara disebutkan dari kata “Lomba-lomba” yang berarti masyarakat nelayan masa itu bersenang-senang melaksanakan lomba-lomba laut yang seperti sekarang masih dilaksanakan setiap pesta Lomban, namun ada sebagian mengatakan bahwa kata-kata lomban berasal dari kata “Lelumban” atau bersenang-senang. 
Pesta Lomban masa kini dilaksanakan oleh warga masyarakat nelayan Jepara bahkan  dalam perkembangannya sudah menjadi milik warga masyarakat Jepara. Malam hari sebelum acara pesta Lomban berlangsung, biasanya diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Pesta Lomban dimulai sejak pukul 06.00 WIB dimulai dengan upacara Pelepasan Sesaji dari TPI Jobokuto. Upacara ini dipimpin oleh pemuka agama desa Jobokuto dan dihadiri oleh Bapak Bupati Jepara dan para pejabat Kabupaten lainnya. Sesaji itu berupa Kepala Kambing hitam (kendit) atau Kepala Kerbau, kaki, kulit dan jerohannya dibungkus dengan kain mori putih. Sesaji lainnya berisi sepasang Kupat dan Lepet, bubur merah putih, jajan pasar, arang-arang kambong (beras digoreng), nasi yang diatasnya ditutupi ikan, jajan pasar, ayam dekeman (ingkung), dan kembang boreh/setaman. Semua sesaji diletakkan dalam sebuah ancak yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah dilepas dengan do’a sesaji ini di”larung” ke tengah lautan, pembawa sesaji dilakukan oleh sejumlah rombongan yang telah ditunjuk oleh pinisepuh nelayan setempat dan diikuti oleh keluarga nelayan, semua pemilik perahu, dan aparat setempat.
Gambar 1. Arak arakan sesaji yang mau di larung ke laut

setelah sesaji dilepas, beberapa perahu nelayan berebut mendapatkan air dari sesaji itu yang kemudian disiramkan ke kapal mereka dengan keyakinan kapal tersebut akan mendapatkan banyak berkah dalam mencari ikan. Ketika berebut sesaji ini juga dimeriahkan dengan tradisi perang ketupat dimana antar perahu yang berebut saling melempar dengan menggunakan ketupat. Selanjutnya dengan disaksikan ribuan pengunjung Pesta Lomban acara “Perang Teluk” berlangsung ribuan kupat, lepet, kolang kaling, telur-telur busuk berhamburan mengenai sasaran dari perahu ke perahu yang lain. “Perang Teluk” usai setelah Bupati Jepara beserta rombongan merapat ke Pantai Kartini dan mendarat di dermaga guna beristirahat dan makan bekal yang telah dibawa dari rumah. Di sini para peserta pesta Lomban dihibur dengan tarian tradisional Gambyong dan Langen Beken dan lain sebagainya. Maksud dari upacara pelarungan ini adalah sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Allah SWT, yang melimpahkan rezeki dan keselamatan kepada warga masyarakat nelayan selama setahun dan berharap pula berkah dan hidayahNya untuk masa depan. Selain itu pelarungan ditujukan sebagai salah satu bentuk rasa hormat kepada Yang Maha Penguasa ‘sing mbaurekso’ sebagai ruh para leluhur yang mereka percaya dapat menjaga dan melindunginya dari segala ancaman marabahaya dan mala petaka.  Tradisi upacara yang masih bertahan dapat memberi gambaran bahwa masyarakat nelayan masih memegang teguh adat istiadat yang diwarisi secara turun-temurun. Kepercayaan terhadap leluhur, roh halus merupakan manifestasi keteguhan hati yang masih mengakar pada diri nelayan Jepara dalam hal nguri-uri kebudayaan leluhurnya.










Gambar 2. Perang Teluk
Pesta Lomban ini merupakan puncak acara dari Pekan Syawalan yang diselenggarakan pada tanggal 8 syawal atau 1 (satu) minggu setelah hari raya Idul Fitri. Pesta Lomban ini sendiri telah berlangsung lebih dari 1 (satu) abad yang lampau. Pulau Kelor sekarang adalah komplek Pantai Kartini atau taman rekreasi Pantai Kartini yang dulunya masih terpisah dengan daratan di Jepara. Karena pendangkalan dan diurug masyarakat, maka lama kelamaan antara Pulau Kelor dan daratan Jepara menyatu. Pulau Kelor (sekarang Pantai Kartini) dahulu pernah menjadi kediaman seorang Melayu bernama Encik Lanang, pulau ini dipinjamkan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada Encik Lanang atas jasanya dalam membantu Hindia Belanda dalam perang di Bali. Seusai pertempuran para peserta Pesta Lomban bersama-sama mendarat ke Pulau Kelor untuk makan bekalnya masing-masing. Selain pesta-pesta tersebut, para nelayan peserta Pesta Lomban tak lupa lebih dahulu berziarah ke makam Encik Lanang yang dimakamkan di Pulau Kelor tersebut.

3.      Jepara Kota Ukir
Selain dikenal sebagai kota kelahiran RA. Kartini, Jepara juga terkenal dengan seni ukiran kayunya. Di sepanjang jalan menuju kota banyak dijumpai pengrajin meubel dan ukir jepara.  ini membuktikan bahwa, jepara dengan mebelnya sudah melekat dan mengatu dengan mobilisasi masyrakatnya, bahkan di sisi mata pencaharian, banyak sekali masyarakat jepara yang bekerja berhubungan dengan mebel dan ukir jepara.
seni ukir jepara sendiri berkembang pesat karena masyarakatnya memanfaatkan budaya ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan kesehariannya, awal mula munculnya ukir jeparapun banyak yang menafsirkan berbeda-beda.
singkat cerita zaman dahulu kala ada seorang pengukir dan pelukis  di zaman Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, Jawa Timur. Salah seorang Pengukir itu bernama Prabangkara atau dikenal dengan sebutan Joko Sungging. Dan pada saat itu Raja Brawijaya ingin memiliki lukisan istrinya dalam keadaan telanjang tanpa busana sebagai wujud rasa cinta sang raja.
Dipanggillah ahli ukir dan lukis Prabangkara itu untuk mewujudkan keinginan Raja Brawijaya. Prabangkara mendapatkan tugas yang mustahil dilakukan yaitu melukis istri sang raja dalam keadaan tanpa busana tetapi dia tidak boleh melihat permaisuri dalam keadaan tanpa busana. Tentunya Prabangkara harus melukis menggunakan imajinasi saja. Dan akhirnya Prabangkara melaksanakan tugas tersebut, dan selesai tugasnya dengan sempurna.
Tiba-tiba saja ada seekor cicak buang tinja dan mengenai lukisan permaisuri tersebut. Sehingga lukisan permaisuri tersebut punya tahi lalat. Raja gembira dengan hasil karya Prabangkara tersebut. Dilihatnya dengan detail gambar lukisan tersebut. Dan begitu dia melihat tahi lalat, raja murka. Dia menuduh Prabangkara melihat langsung permaisuri tanpa busana. Karena lokasi tahi lalat persis seperti kenyataan.
Raja Brawijaya pun cemburu dan menghukum pelukis Prabangkara dengan mengikatnya di layang-layang, kemudian menerbangkannya. Layang-layang itu terbang hingga ke Belakang Gunung di Jepara dan mendarat di Belakang Gunung itu. Belakang Gunung itu kini bernama Mulyoharjo di Jepara. Kemudian Prabangkara mengajarkan ilmu mengukir kepada warga Jepara pada waktu itu dan kemahiran ukir warga Jepara bertahan dan lestari hingga sekarang.
Hingga saat ini masyarakat jepara masih melestarikan budaya seni ukir kayu di samping di manfaatkan masyarakat jepara sebagai mata pencahariaan mereka. Ukiran jepara tak hanya dikenal oleh masyarakat local namun karya-karya indah seni ukir jepara juga terkenal hingga mancanegara.  
4.      Potensi Wisata Karimunjawa
Kawasan yang jaraknya sekitar 85 km dari kota Jepara ini memiliki luas wilayah kurang lebih 107.225 ha, yang sebagian besarnya terdiri dari lautan yang luasnya 100.105 ha, dan daratnya sekitar 7.120 ha. Kawasan ini merupakan salah satu dari 16 kecamatan di Jepara.
Karimunjawa menyediakan panorama alam yang begitu indah dan menyejukan mata. Mulai dari hamparan hutan mangrove, sisa hutan tropis khas dataran rendah, pegunungan dan hamparan alamyang masih terjaga kealamianya. Serta terumbu karang, padang lamun dan biota lautnya yang bermacam macam merupkaan salah satu kekayaan dari wilayah ini. Sejak tahun 1988, karimunjawa ditetapkan sebagai taman nasional sampai sekarang. Karena di wilayah ini hidup berbagai tanaman dan binatang. Diantara tmbuhanya yaitu hutan mangrove, hutan dataran rendah, terumbu karang dan hutan- hutan pantai, populasi kera ekor panjang, rusa dan sekitar tiga ratus lia puluh tiga jenis ikan karang dan enam puluh Sembilan marga karang keras. Hal ini lah yang menjadikan karimunjawa wajib untuk di kunjjungi. Banyak kegiatan wisata yang di tawarkan disni. Diantaranya snorkeling, dengan kegiatan ini kita dapat menyaksikan bawah laut kariunjawa yang memang memiliki air yang jernih, selain itu kita juga dapat melakukan diving jika kita masih ingin berlama lama di sini. Di sisi lain kita dapat meliat bagaimana par penduduk karimunjawa yang membududayakan ikan hiu yang kita kenal sebagai ikan karnivora yang ganas. Dan menyeramkan. Disni kita dapat langsung bercengkama dengan ikan hiu hasil budidaya.
            kearifan budaya local serta keramahan penduduk karimunjawa juga menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk mengunjungi kawasan ini. Penduduknya yang terdiri dari suku bebeda. Ada suku bugis, Madura,, dan tentunya jawa. Mereka hidup berdampingan dengan rukun. Sebagian dari mereka berprofesi sebagai nelayan.disisi lain, masayarakat bugis yang terkenal dengan tenun sarungnya jua tak mau kalah ambil bagian dalam perekonoian masyarakat karimunjawa.  Sama halnya dengan masyarakat bugis, masyarakat Madura jugaemiliki kemampuan untuk membuat ikan kering sebagai industry rumahnya. Mereka tingal dan menetap di pulau karimunjawa yang merupakan pulau terbesar. Di pulau ini, ketika senja telah tiba maka dermaga menjadi tempat yang sangat di faforitkan untuk melihat keindahan langit senja karimunjawa.

Gambar 3. Taman Nasional Krimunjawa
Di karimunjawajawa juga menyimpan legenda di dalamnya. Menurut masyarakat karimunjawa, nama karimun sangat berkaitan dengan sunan nyamplung, nama aslinya syech Amir hasan. Beliau ini adalah salah seoran putra dari sunan muria. Sejak kecil beliau di manja, sehingga ketika dewasa belia cenderung nakal. Berbagai cara telah dilakukan sang ayah, namun selalu saja gagal. Dengan berharap agar ankanya bisa menjadi lebih baik, sunan muria menitipkan anaknya kepada sunan kudus. Di bawah bimbinganya, sikap syech amir berubah menjadi sosok yang baik dan taat.merasa telah berhasil, sunan kudus mengembalikanya kepada keluarga. Namun ketika sudah bersama keluarganya, Amir hasan kembali seperti semula. Meliat kelakuan anaknya, sunan muria merasa prihain dan meminta anaknya untuk mengamalkan ilmunya di pulau yang Nampak “kremun-kremun” (bahasa jawa) atau tidak jelas bila dilihat dari muria. Dan sang ayah melarangnya kembali sebelum tugasnya selesai. Berbekal dua buah biji nyamplung yang akan di tana disana, serta sebuah mustika majid namnya yang sampai saat ini masih ada di kompleks makamsunan nyamplungan, serta dua orang teman, akhirnya iapun mulai melakukan perjalananya dan sampailah di tempat yang diharapkanya itu. Setelah irudia menanamkan dua buah biji yang di bawanya itu. Dan tanaman dari buah biji itula yang kini disebut sebagai pohon nyamplung dan daerahnya di sebut dukuh nyamplung.


BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Kerifan local (local wisdom) adalah suatu kekayaan budaya yang dimiliki oleh suatu daerah yang sudah ada pendahulunya dan sampai sekarang masih dilestarikan dengan bijaksana. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kerifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup.
Jepara. Sebuah kota di utara pulau jawa yang menyimpan kerifan local yang sampai saat ini masi dilestarikan oleh masyarakatnya. Mulai dari kepercayaan masyarakatnya yang mampu membaca alam ketika akan melakukan pekerjaan, tradisi pesta lomban yang sarat akan makna budaya dan agama, tradisi ini diadakan seminggu pasca hari raya Idul Fitri untuk mengenang tokoh leluhur bernama “Encik Lanang”  yang mengawali tradisi tersebut.
Kota Jepara memiliki satu kerajinan khas yang terkenal hingga mancanegara yaitu kerajinan ukir kayu. Kerajinan inipun tak luput dari sejarah penggagasnya. Tak hanya bernilai seni budaya saja, seni ukir jepara juga mampu menjadi penopang sector ekonomi khususnya bagi masyarakat jepara. Selain itu, Jepara juga memiliki potensi wisata alam karimunjawa yang diminati baik wisatawan local maupun mancanegara. .

2.      Saran
sebagai generasi muda, tentunya kita harus ikut serta melestarikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan local yang ada dalam suatu daerah. Khususnya bagi penulis yang merupakan darah asli dari kota ukir jepara agar mampu ikut serta dalam  melestarikan budaya sehingga kebudayaan tersebut tidak luntur sampai anak cucu kelak dan dapat  dikenal masyarakat luas sebagai daerah yang beridentitas.




DAFTAR PUSTAKA
http://blog.kampungmebel.com/sejarah-seni-ukir-jepara. diakses pada tanggal 12 oktober 2014
http//roni’blog.blogspot.com/Taman-nasional-karimunjawa-kabupaten-jepara. Diakses pada tanggal 17 oktober 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar