Selasa, 03 Maret 2015

BELAJAR DARI ALAM, DUNIA MBAMBONG


Belajar dari alam. 17-18 januari 2015, that’s unforgettable moment for me.. puncak gunung panderman telah berhasil ku tapaki. Meskipun dengan langkah tergopoh-gopoh namun mampu terlewati selangkah demi selangkah. Keindahan alam yang disajikanpun seakan menjadi pengobat rasa lelah ini. Monyet liar berkeliaran, suara kicauan, jalan berbatu menanjak, kabut yang tebal menjadi tantangan tersendiri dalam pendakian untuk mencapai puncaknya.
Perjalanan diawali dari lereng gunung pukul 08.00 WIB. Kami berangkat 10 orang, 6 laki-laki dan 4 perempuan. Beruntung, di kaki gunung kami bertemu dengan pengendara pick up sehingga kami turut denganya,sekaligus menghemat tenaga. Tiba di awal pendakian, kami berjumpa dengan para pendaki lain yang turun dari puncak. Cuaca tak mendukung memang, kami melakukan pendakian di musim penghujan. Namun hal itu tak menyurutkan langkah kami. Kami terus mendaki dan mendaki, sesekali kami bertemu dengan kawan seperjuangan yang akan menuruni gunung ataupun sama-sama berjuang menuju puncaknya.
Tiba di latar ombo, terlihat beberapa tenda tengah berdiri tegak disana, kami berhenti sejenak untuk sekedar melepas lelah sembari menunggu dua kawan yang masih tertinggal jauh dari latar ombo. Penampakan kera putih liar yang begitu lincah berayun-ayun di ranting pepohonan menjadi pemandangan unik tersendiri. Setelah kami rasa cukup untuk melepas lelah dan semua anggota sudah lengkap, kami melanjutkan perjalanan kembali hingga sampai di ‘watu kursi’. Ya namnaya watu kursi karna kami berada di sebuah pelataran yang terdapat batu yang menjulang tinggi dan menyerupai bentuk kursi. Di tempat inilah kami memutuskan untuk mendirikan tenda. Dua tenda sudah siap, satu tenda untuk laki-laki dan satu tenda lagi untuk  perempuan. Di tempat ini kami bergegas menunaikan ibadah sholat dzuhur sembari mengumpulkan energi untuk melanjutkan pendakian ke puncak gunung panderman. Setelah energi terkumpul, kami bersiap melanjutkan pendakian. Medan yang kami hadapi kali ini lebih membutuhkan kehati-hatian dan konsntrasi. Bagaimana tidak? Di engah-tengah pendakian hujan dating mengguyur,  Bebatuan di depan mata, jalanan licin yang menanjak menjadi tantangan tersendiri untuk kami, teledor sedikit saja bisa jatuh terpeleset, kabut yang semakin menebal tak membutakan arah kami, bagaikan berjalan di atas awan.

Akhirnya setelah kurang lebih 2 jam pendakian, sampai juga di puncak panderman. Puncak panderman berada di ketinggian 2000 MDPL terletak di kota Batu. kala itu hanya ada aku dan tim pendakianku yang baerada di puncak, meskipun sesekali kami bertemu dengan para pendaki lain di tengah perjalnan namun beruntung ketika sampai puncak belum banyak pendaki yang sampai disana sehingga kami bebas untuk hunting picture, yups, dimanapun itu, dokumentasi adalah suatu hal yang tak boleh terlewatkan karena sebagai bukti bahwa kita telah  menapakijejak di suatu moment dan tempat.

Setelah kami rasa cukup menikmati puncak panderman sekaligus koleksi foto yang seabrek, kami memutuskan untuk menuruni puncak sembari mengumpulkan kayu bakar untuk bekal membuat api unggun di malam hari. Medan yang kami hadapipun tak jauh beda pada saat pendakian, jalanan yang licin dan curam membuat kami harus sangat berhati-hati, salah satu teman kami beberapa kali terpeleset, namun semua itu akan menjadi kenangan tersendiri untuk kami. Beberapa kali kami berjumpa dengan kawan sesame pendaki yang berlawanan arah menuju puncak panderman, sapaan saling menyemangati menjadi tanda kawan meskipun tak saling kenal,
Senja menjelang, perutpun sudah mulai keroncongan. Di saat yang bersamaan, persediaan air kita terbatas dan hanya cukup untuk malam itu saja. Akhirnya kami membagi tugas, dua teman kami turun menuju sumber air satu-satunya yang ada di gunung panderman yang jaraknya tidak bisa dikatakan dekat, sedangkan sisanya memasak mie denagn sisa air seadanya untuk makan malam kami nanti. Beruntung setelah masakan matang, hujan baru datang, namun sayang, dua kawan kami yang tengah berjuang mengambil air belum juga kembali. Hingga hari semakin gelap dan hujan semakin lebat mereka tak kunjung kembali, sembari menunggu kedatangan mereka kami masih berusaha memasang terpal untuk berteduh di samping tenda. 
Tak lama kemudian dua teman kami sudah sampai di batu kursi tempat tenda kami berdiri, setelah semua personil lengkap, karena perut yang sudah dari tadi keroncongan, akhirnya kami menyantap mie goring yang sudah dingin dan lembek dengan beralaskan plastic bekas bungkus kemasan mie tadi. Meskipun demikian, kudapan sederhana itu terasa nikmat karena dinikmati bersama di guyur derasnya hujan dan di tengah-tengah hutan yang gelap. Sesekali kami mendapati segerombolan orang  yang sedang berusaha keras menuju puncak panderman. Semangat mereka tak patah meskipun di rundung hujan malam itu.
Setelah perut terisi, satu persatu dari kami mulai menyipitkan matanya, kami putuskan untuk bergilir  memantau area tenda karena memang kondisi tenda yang terbatas. Empat teman laki laki kami sudah terlelap terlebih dahulu, barulah ketika sudah memasuki pukul 11.00 giliran kami (4 perempuan) untuk memejamkan mata hingga esok menjelang. Selama di dalam tenda, sesekali telinga ini mendengar hentakan sepatu dari arah luar, meskipun sudah larut, masih saja banyak pendaki yang kami jumpai malam itu.  Niat hati ingin ke puncak melihat sunrise , tapi raga seakan tak mau bangkit dari peristirahatan, tapi hal itu tak menyesalkan kami karena ternyata berdasarkan informasi dari para pendaki yang sudahs sampai puncaknya sunrise tertutup kabut sehingga tak Nampak dari puncak panderman.  Beruntunglah kami tak jadi mendaki puncak lagi karena memang sunrise tak Nampak tertutup kabut.
Udara pagi menyambut nan sejuk, pemandangan asri pegunungan dihiasi kera-kera yang lincah melompat kesana kemari membuat pikiran relex setelah otak penuh dengan kepenatan di tengah tengah kerumunan kota. Sekitar pukul 8 pagi, kami memutuskan untuk memasak. Yaa, apalagi kalau bukan mie instan, karena memang itu bekal kami. Mie goreng di temani jagung rebus menjadi santapan pagi kami, sesusai sarapan kami berjumpa dengan beberapa pendaki yang tengah turun dari puncak panderman, beberapa dari mereka ada pendaki dari luar negri, Thomas dan charoline, dua warga Negara Australia ini sengaja menghabiskan waktu liburanya untuk mendaki gunung panderman. Sekitar pukul 11.00 kami memutuskan untuk mengemas perlengkapan dan siap untuk turun dari gunung, tepat sekitar pukul 14.30 kami sampai di kaki gunung dan bersiap untuk kembali ke malang dan memulai aktifitas.


Dari sini kami belajar bahwasanya hidup itu perlu perjuangan untuk mencapai sebuah kesuksesan, ibarat mencapai puncak panderman, medan yang dilewatipun tak mudah, begitu juga dengan kehidupan, sesulit apapun rintangan yang dihadapi, tetap harus semangat dan tak putus asa. itulah yang di sebut proses, proses untuk mencapai puncak kesuksesan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar